MORAL PANIC DI ERA PASCA KEBENARAN (Amplifikasi Moral Panic Terkait Diksi Sontoloyo, Genderuwo dan Tabok Penyebar Hoaks Dalam Strategi Pemenangan Pilpres 2019)
Abstract
Pemilihan kepala pemerintahan negara telah menjadi ajang perebutan kekuasaan. Jelang Pilpres 2019 di Indonesia, adu gagasan dan terobosan program kerja yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat, nampaknya menjadi kelangkaan. Pertarungan kuasa hanya melahirkan polarisasi khalayak, yaitu kubu Joko Widodo – Ma’ruf Amin versus kubu Prabowo – Sandiaga Uno. Opini publik digiring hingga waktu penentuan pilihan di bilik pencoblosan. “Pesta Demokrasi†kini kehilangan makna kemeriahan, menjadi keriuhan sesaat bahkan sekadar asal gaduh saja. Ada upaya menelanjangi latar belakang yang tidak relevan salah satu pasangan calon (paslon). Lantas kegaduhan menyebar melalui saluran-saluran media massa kian masif dan personal. Moral panic terjadi ketika terdapat keadaan yang dianggap ancaman (perilaku menyimpang) bagi sebuah nilai atau kepentingan masyarakat, yang hadir dan viral di media massa. Kajian difokuskan pada diksi dari petahana Joko Widodo yaitu “politikus sontoloyo, politik genderuwo, serta tabok penyebar hoaksâ€. Sebuah aksi reaksi atas sikap politik kubu penantang yang diduga menggunakan strategi semburan kebohongan (firehose of falsehood). Dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif serta penggalian data dan literatur, kajian ini membedah bagaimana amplifikasi moral panic oleh media di era pasca-kebenaran (post-truth) yang ditunjukkan dalam ujaran dan diksi oleh kontestan pilpres. Dalam diskusi ditemukan bahwa kebenaran data tidak lagi didasarkan atas pertimbangan obyektif, empirik dan ilmiah, namun lebih pada preferensi emosi dan media mengambil peran sebagai instrumen amplifikasinya.
Downloads
1. Accepted paper’s author should read and approve the content of Copyright Transfer Form and send it back via editorial email address.
2. Copyright Transfer Form must be signed by the first author of the paper.